Get this widget!

TRANSLATE IN HERE

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 22 Januari 2014

puisi islami anak rupat


Tuhan
Kau tiupkan kehidupan pada rahim sang Ibu
Kau tancapkan kasih dan sayang-mu
Hangat cinta kau curahkan
Belai kasih kau tanamkan

Fitrah suci tanpa noda
Bertempat dunia fana
Akal yang kau titipkan
Membuka tabir kehidupan

Ku cari dan ku gali
Pemberi ni’mat sejati
Ku puja dan ku sembah
Engkaulah sang pemberi anugrah

Oh Tuhan
Keridloan-mu
Itulah tujuan perjalananku
Menapaki jejak takdirmu
Itulah pengorbananku

Hikmah Sabar



Ku bersujud dan berdoa
Heningnya malam semakin mencekam
Ujian dalam hidup tak surut menerpa
ciutkan hati rasa putus asa

Ku berjalan susuri hutan
Lelah datang ku duduk terdiam
Pandangi air basahi batuan
Itulah bahasa alam

Ku baca ayat tersirat
Ku pahami makna terdahsyat
Akan arti nafsu sesaat

Yang tak berikan manfaat

pantun jenaka anak rupat

Oh bulan kemana bintang
Atas pucuk kayu ara
Oh tuan kemana hilang
Dalam bilik anak dara

Atas pucuk kayu ara
Lebat daunnya pokoknya rindang
Hilang kedalam bilik nak dara
Cuma meminta rokok sebatang

Ambil segulung rotan saga
Sudah diambil mari diurut
Duduk termenung harimau tua
Melihat kambing mencabut janggut

Sudah diambil mari diurut
Diurut dibawah pokok sena
Melihat kambing mencabut janggut
Gajah pula mengorek telinga

Ambilkan bilah pokok sena
Jadikan lata tempat berhandai
Andaikan gajah korek telinga
Giliran buaya hajat berinai

Jadikan lata tempat berhandai
Terbang sekawan burung belibis
Giliran buaya hajat berinai
Pipit pula membilang tasbih

Ambil sejimpit beras dan bertih
Ditabur penawar merubah nasib
Andaikan pipit membilang tasbih
Tafakur elang membaca ratib

Ditabur penawar merubah nasib
Nasib baik bukan sebarang
Tafakur elang membaca ratib
Melihat sitikus mengasah parang

Janda berhias merambah karang
Sirih kuning disangka serai
Melihat tikus mengasah parang
Datang kucing meminta damai

Sirih kuning disangka serai
Dijemur panas daunnya kering
Melihat kucing meminta damai
Ayam memasak pulut kuning

Elok sungguh bunga kantil
Tumbuh kearah kolam telaga
Elok sungguh berbini sungil
Walaupun marah tersenyum juga

Tumbuh kearah kolam telaga
Telaga mencuci badan yang melekit
Walaupun marah tersenyum juga
Tangan ketam cubitnya sakit

Bunga kantil sunting di Aceh
Bunganya putih dalam cerana
Biarlah sungil hatinya kasih
Cubitnya perih saya terima

Bunganya putih dalam cerana
Dipetik dijual didalam pekan
Sementelah cubitan tuan terima
Hatinya jangan tuan lukakan

Bentan Telani diberi nama
Lagunya indah menawan merayu
Jangan hatinya diberi luka
Nantinya hilang kawan beradu

Disana merak disini merak
Merak mana hendak dikepung
Disana hendak disinipun hendak
Pening kepala terajang punggung

Diumpan merak dengan dedak
Hendak ditangkap dengan segera
Di sana hendak di sinipun hendak
Tepuk dada tanyakan selera

Bayan merbah merbuk dara
Terbang bebas hiasan angkasa
Jangan salah tertepuk dada
Badan terhempas mara bencana

Tuan puteri di atas puri
Dato hulubalang di atas padang
Bila dinasihati dengar-dengari
Bila bertepuk pandang-pandang

Air tawar ditambah gula
Lalu dihidang beralaskan kain
Memang awak mencari bala
Pergi menepuk dada yang lain

Bertelepuk emas diatas kain
Ada sirih bergambir tiada
Tak menepuk dada yang lain
Dada sendiri berdaging tiada

Tuah merbuk pada kung-nya
Bandan menukik begap rupa
Raja Chola menggeleng kepala
Berubah tepuk pada dada
Padan menjadi usap dimuka
Inikah tanda millenium tiga ?

Garu pelandok lumut garit
Gugur pucuk habis kontot
Lalu bidukku umbut berkait
Lenguh sendi siku dan lutut

Pelatuk besi lupuh melurut
Harimau dahan pelandok melompat
Melenguh sendi siku dan lutut
Balikkan badan biduk terjungkat

Kerbau putih membongkah tanah
Badak sambu pagut resam
Kalau mandi biarlah basah

Bidukku lalu umbut terendam

Puisi sakit hati


REMUK HATI INI




senja menutupi mega
rintik gerimis mewarnai hari

hati yang telah patah
terbasahi hujan air mata

kau pergi tiada pamit
tetes darah yang kau tinggalkan

menjadi luka di hati
Ya Allah…..

tempatkan lah ia di surga-Mu
pertemukan lah kami

dengan Kasih dan Ridha-Mu
Amien.


Lupakan Hati Ini


saat daun kering berjatuhan
angin kemarau membelai diri
ku terdiam terpaku
saat kau memilih tinggalkan ku
tapi tak mengapa

ku tak membendung tangis
kepergianmu
anugrah bagiku
semoga kau temukan kebahagiaan disana

bersamanya lalui dunia
kini ku bahagia bersama sepi
tiada yang lebih baik darimu
selain seseorang yang mau mengerti diriku

kini ku larut dalam pencarian terakhir
kuyakin Tuhan bersamaku



TAK DIANGGAP

aku mentari tapi tak menghangatkanmu
aku pelangi tak memberi warna di hidupmu
aku sang bulan tak menerangi malammu
aku lah bintang yg hilang ditelan kegelapan

selalu itu yg kau ucapkan padaku
sebagai kekasih yg tak dianggap
aku hanya bisa mencoba mengalah
menahan setiap amarah

aku sang bulan tak menerangi malammu
aku lah bintang yg hilang ditelan kegelapan
sebagai kekasih yg tak dianggap
aku hanya bisa mencoba bersabar
ku yakin kau kan berubah.....

YONG MAKAN ORANG LAEN YANG BAYO

Dah lame raseny tak ke Bengkalis, muak (bosan) pulak lame-lame dekat Pakning (salah satu desa) ni. Suatu hari Yong pegi ke Bengkalis Naik Sepeda Unte (speda apek2) lewat penyeberangan Roro. Yong pergi sendiri aje, malas ngajak Minah, kalau die ikot kemaren biseng, macam2 mintaknye. Nak mintak beli celana leging lah, nak baju syahrini lah, nak rebonding lah...duit sekarung pun selesai kalau ngajak di. Hari tu yong nekat pagi-pagi ke Bengkalis walau di dompet duet cume 7.500 (tujuh ribu lime ratos) nye... Heheheheheheheh
Bukan maen ramai antri dekat pelabuhan Roro tu, antrian lambat, mengensot macam siput. Akhirnye setelah antri 2 jam selamat juge Yong masuk kapal Roro. Hari dah menjelang siang, perut pun dah sangat lapo (lapar).. Sampai dekat pasar Yong langsung cari kedai (warung) makan.. Penat (capek) betol kelileng nak cari kedai makan yg murah... Akhernye yong jumpe pulak satu restoran yg unik dan menarik, dekat depan pintu masok ado tulisan; "MAKAN SEKARANG, CUCU ANDA YG AKAN BAYAR"
Hhahahahhahahhahaah
Suai betol ni ha.. Pas pulak awak tengah tak ade duet.. Awak yang makan sekarang, bio lantaknye cucu awak yg bayo.. Hahahahahaah
Tak lengah Yong masok restoran unik tu, yong langsong pesan makanan sebanyak-banyaknye, yong pesan: Sambal ikan Debok, Pindang Ikan Pias, ayam masak puteh, asam pedas Lomek, tumes belacan, dan Jus Asam Payo.. Hehehehhehehehe
Penoh meje dengan menu yang Yong pesan, menyungap yong makan bepeloh-peloh (berkeringat).. Lentum lentam kentut dan sendawo gegara kekenyangan.
Setelah puas dan kenyang, yong langsung menuju pintu keluo. Tapi belom sempat Yong keluo, tibo-tibo yong dihadang oleh seorang pelayan dan dio menyerahkan sehelai Bill makanan..
Yong: "Oiiiii... Macam mano ni? Di papan iklan kat depan tertules: "Makan Ajo Dulu, nanti Cucu Saye Yang Bayo?"
Pelayan: "Iyeee.. Saye tau, tapi cube bapak bace betol-betol Bill tu.... Itu memang bukan Bill makanan yg bpk makan tadi, tapi itu Bill ATOK  bpk yg buat hutang 50 tahon yg lalu, tentulah mike sebagai cucu yg wajib bayo...!!!"
Yong: "Haaaa?? Rupenye ATOK aku pon dah ade buat hutang kat sini?????"
Hari tu Yong Pengsan, sakit jantong Yong kambuh, yong dilarikan ke RSUD Bengkalis...
Pihak Rumah Sakit Langsung SMS minah suruh nyusul ke Bengkalis...
Tak lengah minah naik Mulia kencana (salah satu nama kapal) datang ke Bengkalis membawak ATAN dan Dara (anak) sekalian...
Nampak minah datang menjenguk.. Sejuuuuk hati rasenye... Pasti dilayan same Minah ni kang...
Tapi sungguh diluar dugaan... Minah mengamok kat Rumah saket Tu...
Minah: "Tu lah... Pegi Bengkalis tak ngengajak...rasekan kene tipu same orang restoran... Buat ajelah kelaku teroosssssss"
(Hari tu hajap yong kene lanyak same Minah... Die datang bukan awak tambah sehat... Lebam dari muke sampai pontot kene gibal same Minah)
Hahahahahahahahhahahaahah

Siape dah bace, wajeb kasi komen... Hehehheheeheh

Cerite yong jaring ikan

Di Sungai pakning, Yong Dolah sangat terkenal sebagai orang yang paling jago menangkap ikan.... istilah yang ngtrend di Pakning kalau menangkap ikan tu namenye "MENJARENG" (MENJARING IKAN)
Kehebatan Yong Dolah tersebar hingga ke luar negeri... hingga suatu hari datanglah wartawan TV3 malaysia ingin mewawancarai Yong Dolah nak tau ape rahasie Yong sampai bisa menghasilkan ikan 1 Ton per hari.... heheheheheh
Wartawan: "Yong, kalau saye boleh tau... kire-kire ape rahasie Yong boleh dapat ikan banyak tiap hari?"
Yong: "senang aje.... tempat kite melempo jareng (jaring) harus same dengan posisi tidur istri kite pade malam hari..."
Wartawan: "maksudnye? saye tak pahamlah Yong"
Yong: "Memanglah mike ni wartawan bebal (Tolol).... maksudnye... kalau istri kite malamnye tidur mireng (nyamping) ke kiri, kite mesti lempo jareng ke sebelah kiri... belambaklah (banyak) ikan mike dapat nanti......"
Wartawan: "Kalau istri mireng ke kanan Yong?'
Yong: "Lempo pulak jareng ke kanan....."
Wartawan: "Tapi...... kalau istri kite tidor Terlentang? cam mane pulak Yong?"
Yong: "Kalau istri tidur terlentang... lebih baek hari tu kite tak usah turun kelaut... Rejeki beso tu.... pasang jareng (KELAMBU) dekat atas tempat tidur....."
Wartawan; "??????????????????'
bruawkwkwkkwkwkkwkwkkwkwkwkwkwkkwkwkwk
Buat para pembace yg lelaki..... malam tadi yg disebelah tidur menghadap kemaneeeeee???????????????????

Jumat, 17 Mei 2013

Pantun due kerat

ade buaye ade katak
entah iye ntah tidak
wkwkwk

ade ular beso betis
kate orang aku ni manis

buah nangke buah durian
tak sangke gue keren

disini bingung disane bingung
padahal die memeng bengong alias begok

buah semangke berdaun sirih
mane muangkin kan???
hahaha...


Jumat, 03 Mei 2013

ODONG ODONG KAMPUNG CINA


ODONG-ODONG KAMPUNG CINA


Kacamata surya menjadi pamungkas penampilannya, setelah topi kulit itu dipastikan terpasang sempurna di kepala. Asesoris yang tak sekadar menutup ubunnya yang lapang. Angannya, agar ia tak mudah dikenali. Warga kota itu lebih mengenalnya jika berpeci hitam dan berjas biru. Laiknya pamflet-pamflet di tiang listrik, yang biasanya beriklan sedot WC. Itu pun kalau belum ditempeli iklan lain. Atau lihat saja kaos-kaos tukang becak di pengkolan gang. Akan akrab sekali wajahnya.
Rumah berpagar setinggi cemara itu, sejatinya telah cukup untuk memberitahu tentang status sosial. Belum lagi mobil mewah berwarna hitam yang kerap mengantarnya kemana pun. Meski tak berplat merah, mobil saja cukup memantaskannya disebut pejabat. Setidaknya menurut orang-orang pinggiran kota.

Kalaulah bukan karena rengekan putrinya yang baru saja masuk SD, tak mungkin ia berada di kota wisata yang dinamai Kampung Cina ini. Apalagi sampai harus menaiki kereta bermesin diesel bak sepur di jalan raya. Orang sekitar menyebutnya odong-odong. Itu pun hasil rengekan putrinya juga, setelah ditawari naik kereta kuda yang agak eksklusif putrinya menolak. Sebulan lalu, ia memang janji kalau mau sekolah tahun ini, akan diajak jalan-jalan. Walhasil, hari Minggu ini ia bersama istri dan kedua anaknya, pun berwisata.
Odong-odong itu bertarif cukup terjangkau. Harga resmi dari Pengelola Kampung Cina. Ada dua gerbong odong-odong yang tersambung ke kemudi. Sekiranya memuat 10 hingga 15 orang. Kadang-kadang dibayar patungan.


Ia tentu tak bermasalah dengan harga. Selembar pecahan berwarna biru, segera saja ditariknya dari dompet cokelat ala Italy itu. Dua rombongan keluarga lain terlihat ingin pula berpartisipasi.
“Nggak apa-apa Pak, biar saya saja yang bayar” Ujarnya sembari mengembalikan dompet ke kocek belakang, dan membenahi kacamata. Seakan khawatir orang itu mengenalnya.
Kedua anaknya terlihat senang. Teramat jarang mereka menikmati situasi seperti ini. Apalagi ditemani anak-anak lain sebayanya yang juga ikut di odong-odong itu.
Odong-odong pun perlahan meninggalkan pangkalan. Mengajak penumpangnya mengenal Kampung Cina lebih akrab lagi. Salah satu aset di kota yang identik dengan burung Enggang itu.
***

Telepon genggamnya seolah antre. Kadang selisih 10 menit, telepon yang lain kembali berbunyi. Tak semuanya diangkat. Selalu terlebih dahulu dipilah. Kecuali Haji Basyar.
“Gimana Pak Sarqani? Sudah sampai di mana tari Zapin kita Pak?” Tanya Haji Basyar yang terdengar samar, beradu bersama angin. Hampir bosan ia menjawab pertanyaan Haji Basyar yang serupa itu.
“Nanti saja Ji, saya lagi di kendaraan” tolaknya singkat.
Sebetulnya sungkan menolak telepon Haji Basyar. Pemuka adat Melayu, yang juga berjasa memandu suara untuknya di dua dapil empat tahun silam. Tapi keinginan Haji Basyar agar Zapin diabsahkan sebagai tradisi Melayu di kota itu, urung jua terwujud. Menurut Haji Basyar, Zapin kaya nilai tradisi, reliji, sejarah, kebersamaan, terutama seni gerak tubuh yang memang khas. Asanya, Zapin menjadi khazanah budaya kota yang separuh penduduknya Melayu itu. Ia tak ingin tari yang sejak turun-temurun diwarisinya itu keburu dirampas lagi.

Bagi Sarqani, Haji Basyar kini tak bisa lagi diandalkan. Tak ada yang menguntungkannya dengan Zapin. Ia menyimpulkan sesuatu dari pengalamannya. “Bukan percaya yang diperlukan, tapi seberapa besar biaya yang sanggup dikumpulkan.” Itu yang berulangkali diwiridkannya kala sendiri sembari menimbang-nimbang kesuksesannya dulu.
Setahun lagi babak baru dimulai. Saatnya berpacu mengepul modal. Tentu ia tak mau seperti dulu. Saat semuanya ia pertaruhkan. Rumah, tanah, kendaraan, dan sebagian warisan. Namun semua telah kembali dalam dua tahun kursinya.
***

Odong-odong masih menyisir jalanan yang nyaris tanpa lubang. Melukis riang putrinya yang tumpah-ruah. Hampir semua yang ia lihat ditanyakan pada ayahnya. Meski tak satu pun yang terjawab sempurna. Pariwisata dan Budaya yang dibidanginya selama ini, tak cukup ampuh membuatnya mengerti tentang maskot kota yang sempat ditanyakan anaknya tadi. Apalagi menjawab penasaran putri pertamanya “mengapa Kampung Cina banyak warna merahnya?”. Ia pun hanya menjawab seadanya “Merah itu berani Put, seperti bendera kita, Merah-Putih”.
Keakraban yang tanggung itu semakin lenyap, saat odong-odong yang membawa rombongannya itu melintasi beberapa pengemudi odong-odong lain yang sedang parkir.
“Hei...Jangan korupsi!” teriak para pengemudi itu dari pinggir jalan.
Pengemudi odong-odong yang ditumpanginya terlihat tenang. Senang. Senyumnya bahkan seirama gerak mesin. Bercengkrama bersama angin padahal kian siang kian terik. Tapi tidak begitu dengan Sarqani. Cepat-cepat ia dalamkan kacamata suryanya. Menurunkan atap topi. Menggeser bokong, sehingga menyamping. Riuh-rendah penumpang seakan mencelanya. Sesekali ia melirik di balik lensa hitam sebulat telur itu. Memastikan penumpang lain apakah percaya dengan teriakan tadi. Tak ada yang berubah. Mereka biasa saja. Sarqani agak tenang sekarang, seiring odong-odong telah jauh meninggalkan sumber suara.

Telepon Sarqani berdering lagi. Kalut batinnya belum seutuhnya reda. Tapi kali ini Ohang. Pengusaha Properti yang telah menghadiahinya mobil setahun lalu. Tak mungkin diabaikan. Potensi modal terbesarnya di proyek akhir tahun ini.
“Sudah saya hitung-hitung Pak Sar. Rasanya kalau sepak bola saya belum sanggup. Gimana kalau futsal saja?”
“Ah...Bos ini bisa aja. Masa` sudah segitu luasnya, futsal. Orang itu, semakin luas semakin besar, Bos!” jawab Sarqani lebar.
“Ayolah Pak. Nanti kalau memang izinnya mulus hingga lima tahun ke depan, baru kita bicarakan lagi?” desak Ohang.
“Bos, waktu saya terbatas, lagi di kendaraan. Nanti aja sambung lagi.” Potong Sarqani melenggang di atas angin. Ia sangat tahu Ohang tersudut.
Sarqani bukanlah penghobi sepak bola atau futsal. Demikian pula Ohang. Memang sudah biasa mereka bermain berbagai jenis olah raga. Menyembunyikan delapan digit nol di belakangnya.
***

Odong-odong baru menempuh separuh rute saat melewati sekelompok petugas security Kampung Cina, lantas mereka berteriak.
“Hei...Jangan korupsi mulu!”
Sarqani terperanjat lagi. Dirapatkannya tangkai kacamata. Topinya ditarik menunduk. Hampir menutupi sepasang alis lebatnya. Ditatapnya sang pengemudi. Pengemudi biasa saja. Bahkan tersenyum. Lebih lebar dari kali pertama. Terumbar bersama hentakan polisi tidur yang digilasnya. Sesekali ia menoleh ke belakang. Para penumpang lain sama senyumnya. Terhentak seru di atas odong-odong bercorak kartun itu. Keseruan yang bagi Sarqani tak ubah ludah.

Ia mulai yakin ulahnya telah bocor. Sepertinya ia ingin segera berhenti di simpang depan saja. Tapi kedua anaknya masih asyik menikmati ornamen hijau-merah berbentuk naga-naga yang berbaris di sepanjang jalan beraspal mulus itu.
“Saya sudah finalkan proposal Pak, lengkap dengan drafnya?” Desak Haji Basyar, yang kembali mencoba meneleponnya.
“Oh Iya. Nanti malam saja kita ketemu. Siapa tahu bisa kita prioritaskan.” Jawab Sarqani hampir yakin.
“Alhamdulillah. Terimasih Pak Sarqani. Ini baru wakil kami.” pungkasnya penuh syukur.
Suasana siang itu mungkin yang telah mengusik sikapnya. Ada yang ingin ia bantah tentang teriakan-teriakan tadi. Barangkali masih bisa membuktikan manfaat jabatannya di penghujung kursi.
***

Odong-odong Kampung Cina itu masih setia berkeliling. Masih ada sepertiga jarak tempuh lagi yang harus dilewati. Suasana tampak semakin ramai. Dari kejauhan terlihat banyak pengemudi odong-odong melepas lelah di bawah pohon serupa beringin, beralas repumputan gajah. Berbaur bersama beberapa petugas security dan para pekerja taman. Bercengkrama santai.
Sarqani gelisah. Debar jantungnya semakin terpacu deras seiring odong-odong yang ditumpanginya melewati kerumunan itu, dan mereka pun berteriak serempak seolah terkomando.
“Hei...Koruptor!”

Sang Pengemudi terbahak. Sarqani menggelepar panik. “LSM mana yang berhasil mengacak-acak meja kerjaku” gumamnya. Angin di Kampung Cina yang sepoi itu bak neraka yang membakar. Tak dipedulikan lagi pertanyaan-pertanyaan kedua anaknya. Kini ia benar-benar ingin terjun bebas dari odong-odong yang telah menjebaknya itu. Sorak-sorai penumpang lain di gerbong dua, semakin ia yakini sebagai olokan menghina dirinya. Topi dan kacamata, tak sempurna menghijabnya dari keramaian. Kini ia tak tahu bagaimana lagi harus bersembunyi.
“Ma, jaket Papa mana?”
“Kan ditinggal di mobil Pa. Papa kenapa?” telisik istrinya seakan cemas.
“Jaket Mama aja Papa pinjem. Papa masuk angin nih!” desaknya.
“Ah...yang benar aja Pa. Tenang, Mama bawa minyak angin kok” tawarnya.
“Jangan, jaket Mama aja. Bilangin pengemudi agar lewat jalan pintas, Papa nggak tahan ni!”

Segera saja istrinya meminta pengemudi odong-odong itu untuk mengambil jalan yang lebih cepat sampainya. Pengemudi jelas tak keberatan. Diambilnya arah kiri persis di pertigaan depan. Dari sayup-sayup masih terdengar teriakan-teriakan korupsi yang seolah semakin menjadi-jadi seiring odong-odong berbelok ke kiri.
“Nanti Ibu kasih aja uang rokok buat penjaga pertigaan itu, soalnya nggak boleh motong jalan, peraturan Pengelola di sini begitu Bu!” terang Pengemudi.
Benar saja. Seorang penjaga berseragam resmi, menahan odong-odong tak jauh dari simpang. Selembar pecahan sepuluh ribu, secepat kilat beralih dari tangan istrinya ke tangan penjaga itu. Odong-odong pun melaju aman. Tak ada yang perlu dikhawatrikan lagi. Kecuali teriakan itu yang masih saja menyiksa Sarqani.
Odong-odong belum sempurna berhenti, ketika Sarqani bergegas terjun, sembari menggendong anaknya yang kecil. Penumpang lain heran. Menyaksikan orang segagah Sarqani berjaket wanita. Tatapan mereka semakin meledakkan kalut di kepala Sarqani. Belum lagi suara-suara korupsi dari kerumunan orang tadi yang seakan memburunya sengit.

Tapi ada yang membuat Sarqani berani menegur sang pengemudi. Setelah memastikan topi dan kacamatanya erat terpasang, ia pun mulai mengusut.
“Eh...Mengapa kalian teriak-teriak korupsi di siang bolong begini?”
“Ah...Itu mah biasa di sini, Pak. Tarif Rp.50.000,- itu harusnya menempuh rute sekitar 5 Km keliling tuntas Kampung Cina ini. Cuma teman-teman banyak yang potong kompas. Seharusnya di pertigaan tadi kita lurus, jangan belok. Yang belok kiri itulah yang dibilang korupsi. Makanya diteriakin mulu, apalagi pas kita benar-benar berbelok.”
Napas sangat panjang berhempus dari hidung Sarqani. Ada sebongkah panik dan kemelut malu yang dibantingnya bersama napas panjang itu. Dengan sangat yakin topi kulitnya dibuka, membiarkan angin menghantam ubunnya, bermaksud mengademkan bara. Sebagaimana kacamatanya yang digelantungkan begitu saja di leher kaos putihnya, seolah mengundang terang, setelah sejam lalu pandangannya bertangas di balik lensa hitam. Tak luput jua jaket istrinya, yang tergopoh dicopot, seolah lupa.

Diraihnya kembali telepon genggam dari sela saku, setelah terlebih dahulu menolak panggilan masuk bertulis ‘haji nyosor’.
“Bos, kalau benar-benar mau, kita main futsal sajalah dua kali, gimana?”
Angin di Kampung Cina berhembus tak menentu. Ada kabar kecewa yang ingin diutarakannya. Sama kecewanya Aku yang bercerita.

S e k I a n. . . . .
Terima kasih telah baca cerpen saya ini….